Senin, 06 Desember 2010

Mengapa optimisme diperlukan?



Apakah Anda seorang yang optimis dalam menghadapi bulan-bulan ke depan di tahun 2007 ini? Tunggu dulu. Kita orang optimis atau pesimis tidak penting diutarakan secara verbal di hadapan orang lain. 

Kecanduan Cinta

Istilah kecanduan cinta mungkin bukan istilah yang umum terdengar. Istilah yang sudah umum beredar seperti kecanduan minum, alkohol, narkoba, rokok, kerja, dan lain sebagainya. Meski pun “barang” nya cinta, bukan berarti aman-aman saja bagi pecandunya dan tidak membawa dampak apapun juga. Justru, dampak dari kecanduan cinta ini sama buruknya untuk kesehatan jiwa seseorang. Buktinya, sudah banyak kasus bunuh diri atau pembunuhan yang terjadi akibat kecanduan cinta meski korban maupun pelaku sama-sama tidak menyadarinya...Nah, artikel di bawah ini akan mengulas sekelumit hal-hal yang berkaitan dengan kecanduan cinta.
  • Kecanduan Psikologis
Di dalam masyarakat sudah banyak sekali kesalahan dalam mempersepsi atau mengartikan cinta sejati dengan cinta yang bersifat candu. Berbagai film, sinetron, atau pun lagu-lagu turut andil dalam menyaru-kan kondisi kecanduan cinta dengan cinta sejati. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam pengertian yang keliru antara kecanduan cinta dengan cinta sejati. Contoh ekstrimnya, ada orang yang bunuh diri karena ditinggal pergi kekasih – dan orang menilai bahwa cerita ini mencerminkan kisah cinta sejati.

Kenapa kosentrasi itu penting?!

Kalau dijawab dengan menggunakan teori dan praktek yang sudah umum, mungkin penjelasan yang bisa diterima adalah antara lain:

1. Kecepatan
Kemampuan kita dalam berkonsentarsi akan mempengaruhi kecepatan dalam menangkap materi yang kita butuhkan. Seorang pelajar / mahasiswa yang punya kemampuan bagus dalam berkonsentrasi akan lebih cepat bisa menangkap materi yang seharusnya ia serap. Seorang karyawan yang bisa berkonsentrasi, ia akan cepat menangkap (menguasai) berbagai jenis keahlian yang ia butuhkan. Seorang olahragawan yang bisa berkonsentrasi dengan bagus akan lebih cepat dalam menguasi tehnik-tehnik dan jurus-jurus yang ia butuhkan untuk menjadi bintang. Saking pentingnya konsentrasi ini, Kurt Vonnegut pernah menulis begini: “The secret to success in any human endeavor is total concentration”.
2. Kekuatan
Konsentrasi, adalah sumber kekuatan. Apa hubungannya antara konsentrasi dengan kekuatan? Satu dari sekian penjelasan yang bisa menggambarkannya itu adalah cara kerja pikiran. Konon, pikiran kita akan bekerja berdasarkan “ingat” dan “lupa”. Pikiran kita tidak bisa bekerja untuk lupa dan untuk ingat dalam satu waktu. Lupa dan ingat akan dilakukan secara bergantian dalam tingkat kecepatan yang sangat maha super. Kalau anda ingat kebaikan orang, saat itu juga kita melupakan kejelekannya. Sebaliknya, kalau kita mengingat kejelekannya, maka saat itu juga kita melupakan kebaikannya. Teori Neouroscience-nya mengatakan bahwa otak manusia ini berubah sesuai dengan penggunaan. Kemana kita mengarahkan konsentrasi akan diikuti dengan perubahan struktur fisik otak itu (Neuroscience, Funderstanding, 1998-2001)
Kaitannya dengan katahanan seseorang terletak pada porsi dan frekuensinya. Kalau pikiran ini lebih sering kita gunakan untuk mengingat atau melihat hal-hal positif dari diri kita, dari keadaan dan dari orang lain di sekitar kita, maka kesimpulan yang tercetak di dalam diri kita adalah kesimpulan positif. Kalau sudah kesimpulan ini yang terbentuk, maka energi yang muncul adalah energi positif. Kekuatan dalam menghadapi kerasnya kenyataan hidup ini terkait dengan energi positif. Berdasarkan pengalamannya, Bruce Lee menyimpulkan bahwa seorang jagoan itu sebenarnya adalah manusia biasa. Bedanya adalah kemampuannya dalam menggunakan konsentrasi seperti sinar laser.
Contoh yang dekat itu misalnya kita gagal, entah itu gagal masuk UMPTN atau gagal masuk kerja. Jika yang kita ingat dan yang kita lihat adalah sisi-sisi yang mengecewakan dari kegagalan itu dan dari keadaan itu, maka sekuat apapun fisik kita pasti akan terasa berat untuk melangkah ke opsi lain. Akan beda rasanya ketika kita masih bisa melihat opsi dan alternatif lain atau bisa mengingat-ingat tujuan hidup kita dalam potret yang lebih besar (perspektif jangka panjang).
Meski kegagalan itu tetaplah kegagalan, tetapi energi yang keluar dari diri kita berbeda. Yang satu menambah kekuatan dan yang satunya malah mengurangi kekuatan. Untuk bisa mengingat yang positif, untuk bisa cepat melupakan hal yang negatif, dan untuk bisa melihat yang positif, tentu ini terkait dengan kemampuan berkonsentrasi. Mahatma Gandhi menggunakan teknik “ingat” dan “lupa” untuk memperkuat perjuangannya. Ketika dirinya hampir mau putus asa menghadapi penjajahan, Gandhi kemudian memprogram pikirannya untuk ingat bahwa perjuangan menegakkan kebenaran itu selalu akan berakhir menang meski kelihatannya kalah di babak awal.
Dengan kata lain, ketahanan seseorang itu tidak semata-mata terkait dengan kekuatan fisiknya. Bukti-bukti yang ada lebih sering menunjukkan bahwa ketahanan itu terkait dengan kemana seseorang memfokuskan konsentrasinya. Konsentrasi, karena itu disebut sumber kekuatan. Kalau anda melihat kesulitan sebagai sebagai kesulitan, ini rasanya seperti bara api. Tapi kalau kita melihat kesulitan sebagai rangkaian yang terpisahkan dari tujuan yang kita inginkan, ini rasa-batinnya akan beda. Kesulitan di sini kita anggap sebagai tantangan (challenge), bukan sebagai tekanan (pressure and tense).

3. Keseimbangan
Semakin bagus kemampuan Anda dalam berkonsentrasi, maka semakin cepat Anda bisa menangkap signal dari dalam diri tentang apa yang kurang, apa yang kebablasan, apa yang perlu dilakukan atau apa yang perlu dihindari, apa yang baik dan apa yang tidak baik. Dengan ini semua maka hidup kita cepat seimbang atau stabil. Sopir yang punya kemampuan berkonsentrasi bagus akan tajam sensitivitasnya. Kalau membaca penjelasan para ahli seputar Kecerdasan Multiple (Multiple Intelligence), konsentrasi ini terkait dengan apa yang mereka sebut dengan istilah Intra-personal intelligence, yaitu: kemampuan seseorang untuk bisa “connect” dengan dirinya (Seven Ways of Knowing: Teaching for Multiple Intelligences, David Lazear. 1991)
Temuan di bidang olahraga (Calming The Mind So The Body Can Perform, Robert M. Nideffer, Ph.D., 1995) mengungkap bahwa seorang atlet yang “being in zone” memiliki kualitas antara lain:

 Punya perasaan dapat mengontrol dirinya secara penuh dan punya kepercayaan diri lebih kuat
 Bisa memperkirakan apa yang akan terjadi dalam pertandingan sebelum benar-benar terjadi
 Waktu berjalan secara normal
 Objek tampak lebih luas dan tampak lebih gamblang (pandangan yang cerah)
 Bisa beraksi dengan usaha yang tidak terlalu memeras keringat (semua berjalan secara “flow”)
 Munculnya rasa senang / riang
 Bisa menampilkan kualitas permainan yang melebih harapan

Jadi, konsentrasi adalah penggunaan yang proporsional terhadap pikiran untuk bisa fokus pada sasaran yang kita inginkan. Ini berarti konsentrasi itu adalah jalan-tengah (the proper way) di antara dua sisi yang ekstrim, yaitu: distraksi dan “tensi” (tension). Kalau kita tegang, biasanya bukan konsentrasi yang muncul, tetapi adalah over-concentration (pandangan sempit). Sebaliknya, bila kita terkena distraksi: sesuatu yang tidak penting, tidak mendesak dan tidak prioritas untuk kita pikirkan, maka ini adalah under-concentration (ngelantur).
Sebab-sebab
Apa yang menyebabkan seseorang sulit berkonsentrasi? Wah, sebab-sebabnya tentu banyak. Ini terkait dengan lapisan yang menyusun diri kita. Ada lapisan raga dan ada lapisan jiwa. Jika raga kita bermasalah, katakanlah sakit gigi, ini juga bisa mengganggu konsentrasi. Begitu juga kalau kita lapar atau belum ngopi bagi yang sudah kecanduan. Namun begitu, jika masalah ini sudah berlanjut (akut), umumnya ini terkait dengan soal jiwa (batin). Inipun terkadang sulit dimutlakkan dengan satu penjelasan. Karena itu, di bawah ini saya mencoba merangkum beberapa penjelasan yang mudah-mudahan relevan dengan apa yang anda rasakan:

1. Gangguan keseimbangan emosional
Berbagai studi telah mengungkap bahwa stress, distress, depresi dan lain-lain bisa merusak memori (impaired memory) dan konsentrasi (inability to concentrate). Kalau kita kembalikan ke awal (akar), munculnya berbagai gangguan mental itu terkait dengan persoalan pola hidup sehat (positif). Ini sepertinya sudah semacam “hukum alam”. Semakin banyak pikiran negatif, sikap negatif, atau tindakan negatif yang kita biarkan, ya semakin rentan kita terhadap berbagai gangguan itu. Apa ada orang yang selalu positif? Tentu tidak ada. Yang membedakan adalah kemampuan “membersihkan” diri. Konon, 60-75 % penyakit fisik itu terkait dengan soal pikiran yang tidak sehat.

2. Kekosongan emosi
Mahasiswa / pelajar yang sudah tidak memiliki alasan kuat kenapa melanjutkan sekolah, apa targetnya, apa tujuan besarnya, apa program-program pribadinya untuk mencapai target itu, akan cenderung mudah merasa kosong batinnya, hambar hidupnya, atau kecil kepeduliaannya terhadap statusnya sebagai pelajar. Kalau sudah begini, konsentrasi belajar pun rendah. Peduli akan memunculkan kemauan yang keras. Kemauanlah yang membuat hidup kita dinamis, selalu terisi dari waktu ke waktu.
Begitu juga dengan pasangan rumah tangga yang sudah tidak jelas lagi alasan-alasannya, arahnya, program-programnya. Kekosongan batin ini kerap mereduksi konsentrasi dalam membangun keluarga (to develop). Kalau konsentrasi terus menurun, ya tentunya banyak penyimpangan yang muncul. Ini bisa dari yang masih berstadium rendah sampai ke yang berstadium tinggi, misalnya saja perceraian atau kehampaan rasa ber-rumah-tangga.

3. Manajemen pikiran
Konon, pikiran kita itu memproduksi 60.000 –an percikan pemikiran (thought) dalam setiap harinya. Jumlah yang sebanyak itu tentu ada yang melawan dan ada yang mendukung. Nah, supaya bisa mendukung, maka dibutuhkan manajemen. Salah satu unsur manajemen yang paling mendasar di sini adalah kemampuan menangkap (catching). Menangkap di sini maksudnya kita mengetahui apa yang dikerjakan oleh pikiran kita. Kita menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh pikiran kita.
Kalau kita sedang mendengarkan ceramah dosen lalu pikiran kita ngelantur kemana-mana dan kita pun tidak menyadarinya, ya pasti saja ngelanturnya kebablasan. Tapi jika kita cepat mengetahui dan menyadari, ya kita akan cepat bisa mengalihkannya. Artinya, konsentrasi kita bisa rusak lantaran kita tidak cepat mengetahui dan menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh pikiran kita.
Bagaimana Mengasah Ketajaman Konsentrasi?
Seperti yang sudah kita bahas, bahwa penyebab menurunnya konsentrasi itu seabrek. Namun begitu, jika kita merasa apa yang sudah kita bahas itu relevan dengan masalah yang kita hadapi, mungkin kita bisa melakukan latihan (drill) di bawah ini:

1. Perjelas target Anda
Target di sini banyak kegunaannya. Selain akan menjadi bimbingan, ia pun bisa mendinamiskan hidup. Dikatakan bimbingan karena kita tidak bisa menyuruhkan pikiran ini berkonsentrasi kalau tidak ada sasarannya. Target adalah sasaran untuk dipikirkan oleh pikiran kita. Pikiran yang kita gunakan untuk memikirkan sasaran demi sasaran akan membuat hidup dinamis. Orang yang hidupnya dinamis dengan target-target yang dimiliki akan jauh dari gangguan dan kekosongan emosi. Jadi, beri tugas pada pikiran untuk memikirkan sasaran, program atau target yang Anda buat.

2. Lakukan dan libatkan
Tentu tidak cukup dengan hanya membuat program atau target di atas kertas. Agar target itu benar-benar bermanfaat dalam membimbing dan mendinamiskan, ya dibutuhkan disiplin diri dalam menjalankannya. Lakukan sesuatu yang dapat mendekatkan anda dengan target yang Anda buat. Selain melakukan sesuatu, hal yang terpenting di sini adalah melibatkan diri pada lingkungan yang pas dengan kita (environment system).
Temukan orang lain yang kira-kira bisa membuat Anda selalu “connect” dengan program atau target Anda. Temukan lingkungan yang sejiwa dengan Anda. Kalau Anda punya target ingin jago di IT, misalnya, tetapi Anda tidak mengenal orang IT, tidak masuk komunitas IT, jauh dari masyarakat IT, ya tentu saja konsentrasi Anda kurang mendapat dukungan. Pedagang ber-komunitas dengan pedagang. Olahragawan atau seniman ber-komunitas dengan orang-orang yang sejiwa dengan mereka. Anda pun perlu mencontoh begitu.

3. Sering-sering berkomunikasi dengan diri sendiri
Ini misalnya menyepi (bukan menyendiri). Menyepi di sini maksudnya Anda memberi ruang dan kesempatan untuk diri sendiri supaya berbicara dengan diri sendiri, self-dialog, self-talk, meditasi, evaluasi, koreksi, refleksi, dan lain-lain. Ini berarti kita tidak perlu ke gunung untuk menyepi. Menyepi dalam pengertian yang luas bisa kita lakukan di tengah keramaian, misalnya di kampus, di kendaraan umum, di perpustakaan, dan lain-lain.
Yang penting esensinya di sini adalah kita “ingat” pada diri kita, memikirkan diri kita, memikirkan target kita, memikiran apa yang sudah kita lakukan. Banyak orang yang hampir tidak pernah memikirkan dirinya dalam arti yang positif. Dari pagi sampai malam yang dipikirin orang lain, ingat orang lain, ngobrol ke sana ke mari tentang orang lain, dan seterusnya. Mestinya yang bagus adalah seimbang.

4. Ciptakan sarana (mean)
Ini bisa dilakukan dengan membuat tulisan, catatan, gambar atau apa saja yang memudahkan kita mengingat dan melihat target, program atau bidang-bidang yang penting menurut kita. Ini bisa kita taruh di buku, di meja, di HP, di komputer, dan lain-lain. Artinya, ciptakan sarana yang membuat pikiran ini mudah melihat dan mengingat. Temukan acara teve atau radio yang mendukung agenda. Baca buku atau koran atau majalah yang mendukung. Temui orang yang bisa diajak ngobrol tentang apa yang kita pikirkan.

5. Tingkatkan kepedulian
Peduli terhadap diri sendiri berbeda pengertiannya dengan mementingkan diri sendiri. Peduli di sini artinya kita berperan seoptimal mungkin berdasarkan status kita. Pelajar yang peduli adalah pelajar yang berusaha berperan seoptimal mungkin sebagai pelajar: ya belajar, ya berorganisasi, ya demo secara positif, ya bergaul, ya mau menghormati guru / dosen, ya macam-macam. Karyawan yang peduli adalah karyawan yang berperan seoptimal mungkin berdasarkan status dirinya sebagai karyawan: ya belajar, ya bisa menerima bimbingan, ya bekerja keras, ya belajar bekerja cerdas, ya tidak ngambek-kan, ya macam-macam.
Kenapa peduli ini penting? Alasannya, ketika kita menolak peranan yang seharusnya kita lakukan berdasarkan status kita, maka yang muncul adalah konflik di batin, stress, depresi, distress, dan lain-lain. Ini biasanya diikuti oleh rombongannya, katakanlah seperti: keinginan yang tidak realistis dan akurat, pikiran yang tidak jelas fokus dan sasarannya, hasil yang tidak pasti, munculnya pikiran-pikiran negatif terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan terhadap keadaan.
Meski kita sering mengasosiasikan konsentrasi itu dengan cara kerja pikiran, tetapi kalau perasaan kita terluka atau terganggu, akibatnya pikiran juga terganggu. Banyak hal yang tidak bisa kita pikirkan dan tidak bisa kita lakukan dengan bagus karena kita sedang menyimpan perasaan yang tidak bagus. Benar nggak begitu? Semoga ini bermanfaat.(Ubaydillah, AN )

Hidup Ini Sandiwara, Bukan Belaka!


Dari kecil kita mendengar hidup ini sandiwara tetapi karena  mungkin – ditambah embel-embel “belaka” akhirnya konotasi yang melekat terkesan hidup ini main-main, apalagi terkadang masih ditambah di depannya kata “hanyalah”. Lengkaplah kesan main-main itu. Padahal sandiwara adalah exhibisi permainan (the game) yang berbeda dengan main-main. Permainan memiliki konsekuensi penilaian kalah dan menang. Konsekuensi itu juga melahirkan dampak psikologis bagi pemain dan bentuk penerimaan di tingkat penonton. Kalau permainan dapat dimenangkan  maka akan membuat pemain (baca: kita) merasa puas (satisfied) dan membuat penonton  memberi reward. Sebaliknya jika kalah maka pemain merasa kecewa (dissapointed) dan penonton tidak punya alasan riil untuk memberi reward. Tidak hanya itu saja, bahkan kekalahan itu sering menghabiskan waktu, energi, dan perhatian kita untuk membuat “pembelaan-diri” dengan segala cara agar penonton tidak mengecam kekalahan.
Bagian paling  mendasar agar kualitas permainan (sandiwara) membuat kita satisfied adalah memahami naskah sebelum memahami peta geografi panggung dan demografi penonton. Seorang pemain yang tidak memahami naskah sandiwara akan membuat space panggung lebih besar dari space pikirannya. Kalau dipaksakan main maka akan membuat banyak peristiwa panggung yang tidak terpikirkan (missing-link) atau mudah terkena penyakit demam panggung. Kalau hal ini terjadi maka bentuk pembelaan-diri apapun di hadapan penonton tidak bermanfaat untuk menangkis peristiwa yang tidak diinginkan terjadi.
Kiasan diatas mewakili gambaran yang terjadi di seluruh wilayah hidup kita. Seorang pemimpin perusahaan yang tidak memahami naskah akan membuat  dirinya mudah kecolongan/kebobolan yang tidak jarang justru berakhir dengan kebangkrutan. Seorang sopir yang space fisik mobil lebih besar dari space pikirannya akan membuat ia tidak tahu ke mana mobil harus diarahkan dan kalau tetap menjalankannya juga maka akan gampang terjadi kecelakaan. Demikian juga dengan diri kita. Bedanya, kita adalah pemain sekaligus penyusun naskah. Karena kitalah yang  (mestinya) tahu peta panggung internal dan eksternal sekaligus lingkungan khalayak penonton.
Naskah 

Pendekatan membuat naskah skenario dalam konteks organisasi telah dikenal bertahun-tahun dengan sebutan ‘strategic thinking dan telah  dibuktikan dapat menghasilkan banyak manfaat  bagi organisasi yang menggunakannya, terutama sekali pemahaman peta (naskah) dari mana memulai (konteks sejarah), di mana sekarang dan kemana harus melangkah. Model berpikir strategis ini bertumpu pada lima kriteria, yaitu: organization, observation, driving force, view, dan ideal position (dalam: Strategic management thinking:  Women business center, Dallas TX, 1997).  Kalau kriteria itu kita olah menjadi model kemasan yang mungkin untuk diterapkan dalam skala mikro (organisasi personal) yaitu diri kita, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. 
Organisasi


Naskah hidup harus disusun berdasarkan pertimbangan, pengetahuan dan pemahaman tentang siapa  orang-orang yang akan terlibat mendukung agar menjadi tontonan sandiwara yang memuaskan diri kita dan menarik buat penonton. Kalau tidak terjadi nota kesepahaman psikologis  antara kita dengan sejumlah orang yang kita ajak bermitra,
Dukungan bisa kita ciptakan dari  real networking (mitra/rekanan) , kelompok master mind (sahabat/teman), relationship (keluarga). Bentuk dukungan yang kita butuhkan bisa berupa kontribusi riil  (material) dan kontribusi mental (mental support). Idealnya, kita membutuhkan kedua hal itu. Kalau kita membutuhkan uang tetapi mendatangi sosok yang punya keterbatasan uang juga, maka judul akhirnya problem plus problem.  Dalam rumah tangga sangat perlu dilakukan kebiasaan saling mendukung dan ketergantungan antgara satu dengan yang lain. Seorang suami mungkin memerlukan kontribusi mental dari istri dalam menjalankan tugas sebagai kepala keluarga, anak membutuhkan kontribusi dari orangtua, dsb. Dukungan tidak dapat diperoleh dengan gratis tetapi – meminjam istilah Covey – perlu dibentuk kebiasaan   kesalingbergantungan; saling mendukung.

2. 
Observasi 


Naskah hidup seyogyanga disusun berdasarkan pemetaan mental dan observasi lapangan untuk mengurangi gap antara hal apa yang masih konseptual dan hal apa yang merupakan faktual.  Agar hasil observasi lebih akurat dan representative, maka para ahli di bidang model berpikir strategis menawarkan kiat Airplane thinking yaitu sebuah kiat di mana kita memposisikan diri berada di atas pesawat mental. Dengan posisi di atas akan membuat penglihatan kita lebih luas dan menjangkau seluruh wilayah yang ada di bumi (panggung realitas). Pesan bijak bilang, orang yang tidak dapat memahami persoalan dari wilayah strategis (baca: spektrum yang lebih luas) akan membuat dirinya hanya berputar-putar di sekeliling problem dan sulit menyusun prioritas (fokus pengembangan).
Tangga pesawat mental akan memudahkan kita merasakan adanya keterkaitan antar objek, membuat kesimpulan menyeluruh, dan mudah membedakan sekian alternative yang ada. Sebaliknya dalam posisi mental di bawah akan membuat penglihatan kita terbatas pada ruangan yang sempit sehingga mudah mengalami stuck dan tidak tahu alternative. Bisa jadi, naskah yang disusun dengan keterbatasan observasi tidak dapat menjabarkan konteks pembahasan  yang lebih luas. Kalau meminjam istilah yang dipakai anak ABG (anak baru gede), orang yang "kuper" (kurang pergaulan) membuat dunia yang  sangat luas ini menjadi sekecil daun kelor.

3. 
Sudut Pandang


Naskah hidup sebaiknya disusun tidak selamanya berdasarkan format pandangan lama tetapi harus mendapat sentuhan “different way of thinking”. Dalam teori berpikir strategis, ada empat sudut pandang yang perlu dipertimbangan untuk membentuk skenario yaitu sudut pandang atas lingkungan, marketplace, proyek, dan ukuran proyek. Sudut pandang itu dibutuhkan dalam rangka mengidentifikasi hasil yang diinginkan (outcome), identifikasi elemen kritis, dan mengukur tingkat kesesuaian antara ide dan tindakan
Untuk memperjelas, sudut pandang ini dapat kita kaitkan dengan ungkapan lama bahwa setiap manusia memperoleh “penghidupan” dengan cara menjalani bisnis penjualan (business of selling). Siapa pun dan apapun kita tidak akan mendapatkan sesuatu yang diinginkan - yang kebetulan masih di tangan orang lain - kecuali ada yang kita jual kepada mereka. Agar barang kita laku, maka tidak semestinya kita menjual apapun kepada siapapun dan kapanpun dengan cara apapaun. Profesi yang dipilih para nabi sarat dengan sudut pandang yang matang atas keempat faktor di atas, di mana mereka umumnya memilih profesi bidang pertanian, kelautan, atau industri  tekstil . Tak terkecuali Inul kalau tidak boyong ke Jakarta demi “menjual” goyang ngebornya kemungkinan besar tidak seheboh seperti sekarang ini. 

4. 
Sumber Kekuatan


Dalam teori berpikir strategis, sumber kekuatan dapat dipetakan menjadi sumber kekuatan kualitatif (cth: visi, keyakinan berprinsip, tujuan hidup), sumber kekuatan produktif (cth: misi dan fungsi), dan sumber kekuatan kuantitatif (cth: pengalaman, pencapaian prestasi, dll). Peta sumber kekuatan teoritis itu dapat kita jadikan acuan bahwa naskah hidup yang kita rumuskan sebaiknya jangan membabi-buta tetapi sarat dengan perhitungan matang atas faktor kekuatan pemicu, pendorong, dan penopang.  Naskah hidup harus mampu menjelaskan:


·         Visi (tujuan jangka panjang antara 8 sampai 25 tahun mendatang)
·         Definisi Tujuan (manajemen keinginan)
·         Prinsip hidup (keyakinan totalitas dan tidak menerima kompromi)
·         Rumusan Implementasi sesuai dengan kapabilitas saat ini dan berdasarkan kemampuan riil menurut apa yang telah kita alami dan telah kita capai
Kasarnya, jangan sampai asal-asalan terjun payung nekat tanpa menggunakan parasut cadangan, karena hidup ini bukan main-main.

5. 
Destinasi Dinamis


Posisi ideal  dalam berpikir strategis menggambarkan keadaan hidup tertentu yang akan kita nikmati apabila seluruh kandungan naskah ini dapat diterjemahkan sesuai rencana mencakup respon penonton, keunggulan yang bakal kita miliki, dan peluang yang kita raih. Pendek kata, posisi ideal adalah wilayah untuk mengekspresikan energi visualisasi kreatif di mana kita akan terinspirasi untuk meraihnya. Tanpa sentuhan ‘khayalan’ mungkin kandungan naskah menjadi hambar dan penonton pun tidak tertarik. Kita bisa menarik pelajaran dani kesuksesan film Titanic. Awalnya cerita itu adalah besi besar bernama kapal yang tenggelam di dasar laut tetapi oleh penulis naskah yang kreatif disulap menjadi sebuah tragedi yang diiringi dengan petualangan cinta antara dua kasta yang menarik sehingga membuat penonton histeris dan ketagihan.
Dalam kaitannya dengan diri kita, naskah hidup perlu disusun tidak semata-mata berdasarkan “apa adanya” tetapi perlu melibatkan khayalan ‘‘apa yang semestinya” terjadi atau harus terinspirasi dengan cita-cita murni sebagaimana saat masih bayi.  Seperti kata orang, tidak selamanya orang gagal itu karena cita-cita hidup yang lebih besar dari kemampuan tetapi seringkali cita-cita yang (dibikin) berstandar rendah dan tidak tercapai seratus persen”. Jadi, posisi ideal bukanlah destinasi akhir tetapi titik proses di mana akhir adalah awal untuk memulai. 

Karakter Permainan 

Penguasaan isi naskah yang dibuat secara orisinil dan didasarkan pada pendekatan model berpikir strategis akan menghasilkan kualitas karakter permainan sebagai berikut:

1.     Menciptakan dialog (kerja sama) yang hidup, dinamis dan komunikatif yang didasarkan atas pemahaman peranan dirinya dan orang lain (supportive people). Dialog yang hidup itu merupakan cermin dari negosiasi dalam berbagai transaksi kepentingan hidup.
2.     Memiliki penguasaan panggung yang lebih akurat sehingga ketika mendadak terjadi kegagapan, orang yang telah menguasai naskah gampang menyusun improvisasi panggung.
3.     Memiliki penampilan yang menarik karena memiliki otoritas mental untuk berkreasi secara kreatif dan berinovasi, sehingga tidak membuat bosan atau monoton.
4.     Memiliki pemahaman bagaimana “menempatkan diri” di atas panggung yang         tidak berposisi kontradiktif dengan pemain lain atau apalagi membelakangi penonton. Meminjam istilah Musashi, pemahaman demikian dinamakan “ordered flexibility” yang menggambarkan watak air berbentuk tanpa egoisme bentuk.
5.     Memiliki semangat permainan yang tinggi karena terdorong oleh cita-citanya. Semangat ini pada gilirannya akan menciptakan daya tarik terhadap penonton sehingga mereka menjadi bersemangat.

Belajar  dari karakter para pemain yang sukses, umumnya  mereka memiliki karakteristik yang sama yaitu: penguasaan naskah, penguasaan panggung dan penguasaan emosi penonton. Bagi penonton pemain itulah “the world”. Kiasan ini bisa membuat kesimpulan serupa kalau kita belajar dari kehidupan orang sukses bukan saja dari effect tindakannya tetapi dari isi pikiran dan karakter bertindak. Ciri khas yang umumnya sama adalah mereka menguasa dirinya (personal mastery), menguasai bidangnya (life focus mastery) dan menguasai reaksi lingkungan. Contohnya: menurut cerita para orang tua, kalau Pak Karno lagi berpidato, para petani di Jawa Timur rela membawa radionya ke sawah karena tidak ingin kehilangan apa yang akan disampaikan Soekarno.
Memang tidak semua orang punya panggung dan jumlah penonton sebesar dan sebanyak Soekarno, tetapi prinsipnya semua orang punya tugas mendesain naskah hidupnya, punya tugas menguasai pangung, dan punya tugas menguasai reaksi penonton yang umumnya hanya berkisar kecaman dan pujaan. Kalau tidak dapat menguasai reaksi penonton, atau dengan kata lain apabila anda mengukur sukses hanya sebatas pujaan dan kritik, maka kegelisahan anda tidak akan pernah berakhir. Reaksi adalah effect dari aksi menguasai naskah. Semoga menjadi bahan menyusun naskah hidup anda.(Ubaydillah, AN )